Jumat, 23 November 2012

Penyelamatan Asal-usul Budaya, Perlu Database








Klaim berulang yang dilakukan pemerintah Malaysia terhadap budaya Tanah Air tampaknya membuat pemerintah tersadar. Pembentukan database nasional yang terstruktur dan kom­prehensif atau database yang menjamin per­lindungan kebudayaan asli Indonesia seperti sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional dan cerita rakyat.

Pembentukan tersebut dibahas oleh beberapa pakar dari 10 kementerian terkait, organisasi internasional di antaranya World Intellectual Property Organization (WIPO), dan South Centre, serta kedutaan besar negara sahabat yang digelar dalam simposium internasional di Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali,  beberapa waktu lalu.

“Simposium itu sangat penting bagi Indonesia karena melindungi asal usul budaya genentik Tanah Air. Untuk itu perlu adanya per­lindungan budaya berbagai daerah yang sangat berharga bagi bangsa dan juga membawa nilai ekonomi yg tinggi,” kata Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Inter­nasional Kementerian Luar Negeri, Ling­gawaty Hakim.

Ia mengatakan bahwa selama ini di setiap kementerian terkait telah memiliki database namun hal itu belum terpadu dan kom­prehen­sif.

Nantinya pencatatan yang kom­prehensif budaya dari seluruh wilayah Indonesia itu bisa didaf­tarkan ke Badan PBB bidang Pendidikan, Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO).

Indonesia mengharapkan de­ngan adanya data budaya asli terpadu itu dapat mengantisipasi adanya pengakuan budaya Tanah Air oleh negara asing.

“Budaya asli Indonesia bisa didaftarkan ke UNESCO, kalau belum memiliki database nanti bisa diakui negara lain,” katanya.

Sementara di tingkat inter­nasional, Indonesia telah memegang peranan penting dalam partisipasi aktif terkait perlindungan budaya guna membentuk perjanjian inter­nasional perlindungan dan peman­faatan budaya asli itu.
Simposium internasional itu mengangkat tema “Memastikan Perlindungan GRTKF Melalui Penyatuan Database”. Simposium menghasilkan beberapa kesimpulan dan rekomendasi, antara lain perlunya disusun database nasional yang dapat diakes kalangan umum.

GRTKF merupakan singkatan dari genetic resources traditional knowledge and folklore atau sumber daya genetika, pengetahuan tradi­sional dan ekspresi budaya tradisional.

Selain itu, perlu ditetapkannya kebijakan yang berkomitmen (commit­ted) dapat dilaksanakan (doable). Dari praktek dan pe­ngalaman yang ada telah mem­buktikan bahwa kebijakan perlin­dungan GRTKF harus berakar pada komitmen penuh dari para pe­mangku kepentingan nasional.

Kedua, komitmen di tingkat internasional terus meningkat. Masyarakat internasional perlu menjaga momentum tersebut untuk menegakkan dan menyelesaikan draft teks instrumen hukum di bidang sumber daya genetika, pengetahuan tradisional dan eksp­resi budaya tradisional dalam rangka untuk melindungi GRTKF. Hal ini dilakukan dalam rangka menyediakan perlin­dungan bagi GRTKF.

Ketiga, terdapat dua jalur untuk mekanisme perlindungan yaitu perlindungan defensif dan perlin­dungan positif. Mengingat perlin­dungan positif akan memer­lukan proses dan waktu yang lama, maka mekanisme perlindungan defensif melalui pembentukan database GRTKF menjadi pilihan yang tepat. Pendokumentasian GRTKF melalui database nasional, tidak hanya efektif untuk pelestarian dan perlindungan, tetapi juga mampu mempromosikan mekanisme yang efektif bagi pengelolaan GRTKF.

Keempat, semua pemangku kepentingan terkait perlu beker­jasama untuk membentuk database tersebut. Kalangan swasta dan akademisi perlu diyakinkan bahwa pembentukan database tersebut juga akan menguntungkan bagi mereka dan pekerjaan mereka, baik bisnis maupun penelitian. Dengan kata lain, database tidak akan menjadi eksklusif hanya untuk instansi pemerintah terkait namun juga akan dapat diakses oleh kalangan umum.

Kelima, sosialisasi mainkan peran penting. Para pemangku kepentingan terkait harus menjalin koordinasi yang efektif dalam men­sosialisasikan dan menjangkau masyarakat. Dengan demikian ma­syarakat tahu pentingnya data­base dan perlindungan hukum GRTKF.

Lebih jauh, langkah-langkah strategik perlu diambil untuk memastikan upaya-upaya sosia­lisasi dapat dikelola dan dipelihara secara komprehensif.

Simposium ini telah dihadiri oleh peserta-peserta dari Perwakilan Asing di Jakarta, kantor-kantor hukum yang bergerak di bidang hak kekayaan intelektual (HKI), insti­tusi-institusi penelitian, para akademisi di bidang HKI, kalangan swasta, media massa dan institusi HKI negara-negara sahabat.

Linggawaty Hakim memaparkan nilai perdagangan dari peman­faatan HAKI sumber daya genetika men­capai 500 hingga 800 miliar dollar per tahun.

“Dengan nilai moral dan ekono­mi ini, kita harus dan kita memiliki semua alasan untuk memastikan perlindungan GRKTF tidak hanya bagi keuntungan kita namun juga dunia secara keseluruhan,” tegasnya di hadapan 60 peserta simposium itu, termasuk sejumlah peserta dari Amerika Serikat, Libya, Ekuador, Peru, dan India. Masyarakat inter­nasional telah memberikan perha­tian khusus terhadap isu GRKTF ini. Namun sayang, GRKTF belum mendapatkan perlindungan yang setingkat dengan HAKI.

Sambil berupaya meram­pung­kan kesepakatan di tingkat inter­nasional, Linggawaty meman­dang perlunya perlindungan defensif di tingkat nasional. Perlindungan ini dapat dicapai melalui pembentukan database nasional mengenai GRKTF.

Pengembangan database ini, menjadi langkah penting, bersifat komplementer dan mendukung proses negosiasi di forum WIPO (World Intellectual Property Orga­nization).

Linggawaty mengingatkan bah­wa Pasal 33 dari UUD 1945 mengamanatkan perlindungan GRTKF. Untuk itu kita terus berupaya membangun kesadaran dan mewujudkan visi bersama diantara semua kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar