Bendera Partai Aceh yang berkibar pada saat Pilkada 2009 silam.
Sikap Pemerintah Aceh yang bersikukuh mempertahankan
keberadaan bendera Aceh, yang identik dengan bendera GAM, dikritik
seorang pegiat HAM, karena dianggap mengabaikan keanekaragaman politik
dan budaya di Aceh.
"Jadi, ini seolah-seolah produk tirani
mayoritas, tidak mempertimbangkan keanekaragaman etnis dan aspirasi
politik di Aceh," kata anggota Komnas HAM Otto Nur Abdullah, saat
dihubungi wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui telepon, Rabu
(27/03) sore.
Karena itu, Otto menyarankan agar bendera Aceh direvisi, sehingga
bendera yang baru nanti dapat menimbulkan persatuan di wilayah Aceh
secara keseluruhan.
"Dan, bukan kemenangan satu golongan politik saja," kata Otto, yang
sebelumnya dikenal pula sebagai pegiat HAM dan intelektual asal Aceh.
Sejauh ini, Pemerintah Aceh -- didominasi elit
Partai Aceh, yang merupakan pemenang dalam Pilkada terakhir --
menyatakan keberadaan bendera Aceh, yang baru disahkan, tidak
bertentangan dengan hukum.
Wakil Sekjen Partai Aceh Darmawati sebelumnya
mengakui bendera Aceh itu mirip dengan bendera GAM, namun menurutnya ini
tidak bertentangan dengan hukum, karena sudah diatur dalam kesepakatan
damai RI-GAM di Helsinki, Finlandia, 2005 silam.
Meskipun demikian, menurut Darmawati, ini tidak berarti bahwa pihaknya hendak menghidupkan lagi ide separatisme.
"Karena kita semua sudah membuat komitmen dan
kesepakatan bahwa tidak ada lagi unsur separatisme," tandas Darmawati,
seraya meminta pemerintah pusat tidak mengkhawatirkan keberadaan bendera
tersebut
Penyelesaian kompromi
Pernyataan Darmawati ini menanggapi pernyataan
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek yang
menyatakan, sesuai PP no 77 tahun 2007 tentang lambang daerah, logo atau
bendera daerah tidak boleh menyerupai lambang separatis.
Presiden, menurut Reydonnyzar, berhak membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan aturan diatasnya.
Partai Aceh, yang merupakan penjelmahan GAM, menguasai pemerintahan Aceh, setelah menang dalam Pilkada terakhir.
Kemendagri sendiri berencana mengkaji keputusan
Pemerintah Aceh tersebut setidaknya tujuh hari setelah peraturan itu
dimasukkan dalam lembaran daerah Pemerintah Provinsi Aceh.
Tetapi, sikap Partai Aceh yang bersikukuh mempertahankan bendera Aceh dipertanyakan oleh Otto Nur Abdullah.
"Persoalan dalam hal konflik yang sifatnya
bersenjata atau fisik, memang selesai, tapi persoalan dengan hal-hal
simbolik, 'kan belum selesai," kata Otto.
Hal ini, menurutnya, terbukti masih adanya
penolakan sebagian warga Aceh, utamanya dari etnis Gayo Alas, melalui
unjuk rasa menolak keberadaan bendera dan logo Pemerintah Aceh.
Menurutnya, bendera Aceh saat ini lebih mencerminkan aspirasi politik kalangan GAM yang sekarang ada di dalam partai Aceh.
"Dan ingin mengabaikan simbol-simbol yang
berbasis etnis yang ada di Aceh, seperti simbol budaya etnis Melayu
Tamiang, etnis Gayo Alas, etnis Singkil, etnis Sinabang," jelasnya.
Otto kemudian mengusulkan agar persoalan bendera Aceh ini harus diselesaikan secara kompromi."Harus ada kompromi bahwa bendera itu menjadi
simbol kesatuan Aceh, yang terdiri banyak etnis, bahasa, latar belakang
sejarah. Itu harus tertampung dalam bendera itu," papar pendiri LSM
Cordova, yang dulu sering mengkritisi aksi kekerasan yang dilakukan TNI
ketika Aceh diberlakukan operasi militer.