Sabtu, 13 Oktober 2012

Menghentikan Budaya Kekerasan Anak


Kita kembali dikejutkan dengan terjadinya kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah, di mana senior menganiaya yuniornya pada Masa Orientasi Sekolah (MOS), acara yang seharusnya bertujuan untuk memperkenalkan dan menumbuhkan kecintaan siswa baru terhadap sekolah barunya. Kasus bullying (perundungan) menyadarkan kita bahwa tindak kekerasan sudah merambah sekolah, tempat di mana generasi muda penerus bangsa mengenyam pendidikan, membentuk kepribadian serta akhlak yang mulia. Kasus perundungan yang terjadi di SMA Don Bosco, Jakarta Selatan pada 24 Juli 2012 lalu, menimbulkan kesan sekolah menjadi tempat yang tidak lagi aman dan belum menjamin perlindungan terhadap siswanya. Padahal ketika orang tua memasukkan anaknya ke sekolah, maka berpindahlah tanggung jawab orang tua yang biasa diterapkan di rumahnya kepada pihak sekolah dalam hal mendidik, membina dan melindungi anaknya dari segala bentuk kekerasan.
            Berkaca pada kasus di atas, tentunya kita tidak bisa menimpakan kesalahan kepada pihak sekolah karena kelalaiannya dalam mengawasi siswanya. Budaya kekerasan seolah menjadi akrab di telinga anak-anak kita, menjadi trend yang harus dilakoni untuk menunjukkan jati dirinya. Kasus ini mengundang keprihatinan bukan hanya kalangan masyarakat dan dunia pendidikan, namun juga sampai kepada Presiden yang mengatakan budaya kekerasan harus dihentikan. Dikhawatirkan kasus ini menjadi fenomena gunung es, sedikit yang kelihatan namun sangat banyak yang tidak terungkap. Kenapa kekerasan di sekolah masih terus merebak? Bagaimana antisipasi yang harus kita lakukan untuk mengatasinya?

Tanggung Jawab Bersama

            Banyak faktor yang menyebabkan budaya kekerasan menjangkiti anak-anak, yang semakin meningkat dari hari ke hari. Di keluarga, faktor kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan seorang suami terhadap istri dan anak-anaknya, akan membekas di ingatan si anak. Tidak memandang apakah anak tersebut lahir dari keluarga berada maupun miskin. Efeknya anak tersebut tumbuh menjadi pribadi yang terbiasa dengan budaya kekerasan, baik di sekolah maupun masyarakat. Anak pun kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan orang tua, tidak dibiasakan disiplin dan tidak terpenuhi kebutuhan fisik maupun psikisnya sehingga menyebabkan anak menjadi kacau dan liar. Sehingga mereka mencari kompensasi untuk mengatasi kerisauannya di luar dan inilah yang dapat menyeret anak kepada perbuatan kriminal dan kekerasan.

            Di lingkungan tempat tinggal, pergaulan anak dengan teman sebaya maupun yang lebih tua tanpa kontrol orang tua dan keluarga, menjadikan anak tidak terkendali dan hilang arah. Orang tua yang sibuk dengan segala urusan dan kegiatannya, sehingga melupakan perannya dalam merawat, mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Perannya kemudian tergantikan oleh lingkungan sekitar anak yang bilamana lingkungan tersebut tidak mendidik, tidak bersahabat bahkan cenderung keras, akan membentuk anak menjadi pribadi yang terbiasa dengan kekerasan.



            Rasa ingin tahu dan mencoba yang begitu besar, menjadikan anak mengikuti apa yang dilihatnya tanpa menyaring terlebih dahulu apakah yang dilakukannya itu patut atau tidak. Ketiadaan tempat bertanya ataupun figur panutan yang kuat untuk menerapkan nilai moral, menyebabkan anak membenarkan semua tindakan yang dilakukannya. Pengaruh tontonan yang menayangkan kekerasan dan perilaku salah lainnya, secara langsung turut membentuk kepribadian anak. Pengaruh sosial dan budaya memainkan peranan yang besar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah laku anak remaja.

            Pun di sekolah, sistem pendidikan yang lebih menekankan aspek kognitif tanpa menyediakan ruang untuk berkreasi dan berekspresi kian menekan kebebasan anak. Padahal dunia anak adalah dunia belajar dan bermain. Tuntutan yang tinggi dari sistem pendidikan di sekolah demi kenaikan kelas atau pun kelulusan anak, semakin menambah beban mereka. Kurikulum atau bahan ajar yang kurang tepat, metodologi, sistem belajar mengajar yang tidak interaktif dan lingkungan sekolah yang tidak atau kurang nyaman menyebabkan emosi siswa menjadi labil dan membuat siswa merasa tidak mendapat perlindungan maupun pemenuhan hak atas pendidikannya. Siswa pun semakin kurang mengembangkan rasa hormat terhadap orang tua, guru, teman-teman dan lingkungannya. Padahal pasal 54 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan "anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya"

            Di tingkat pemerintah, kurangnya atau ketiadaan ruang bermain hijau yang aman dan nyaman, wadah berekspresi bagi anak untuk menyalurkan bakat dan minatnya maupun program pembangunan yang belum mengakomodir dan mengarusutamakan hak-hak anak, menjadikan anak resah dan kurang diperhatikan. Oleh karenanya mereka melakukan perbuatan yang tidak patut menjurus kekerasan untuk menarik perhatian.

Pendidikan Anak Kunci Utama

            Sudah saatnya bagi pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua dan dunia pendidikan menyadari pentingnya pendidikan anak yang harus dimulai sedini mungkin, mulai dari balita, anak-anak, remaja dan dewasa nantinya. Belajar dari kasus kekerasan yang sering terjadi di dunia pendidikan, maka semua pihak baik orang tua, pelaku pendidikan dan pengambil kebijakan mempunyai tanggung jawab bersama menyelamatkan masa depan anak dan lebih luas lagi masa depan negara tercinta ini. Sebagaimana prinsip dasar hak-hak anak yaitu hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi, pemenuhan hak-hak inilah yang akan menjadi kunci terbentuknya generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berakhlak mulia.

            Di keluarga, saatnya orang tua mulai menjalin komunikasi yang intens dan komunikatif dengan anak. Dimulai dari hal-hal yang sederhana dengan seringnya makan bersama, membimbing anak untuk menonton tontonan yang edukatif, mengajak rekreasi bersama, menanamkan nilai-nilai keagamaan dan lainnya.

            Di lingkungan tempat tinggal, mendorong pelibatan anak dalam berbagai kegiatan yang positif dan mendidik, menyediakan ruang bermain yang aman dan nyaman bagi anak, menyediakan wadah atau perkumpulan untuk mengembangkan minat dan kreasi anak dan sebagainya, mengaktifkan perkumpulan atau kegiatan keagamaan, perkumpulan olahraga dan perkumpulan sosial budaya.


            Di sekolah, saatnya untuk mengurangi beban mental siswa terhadap nilai suatu mata pelajaran dengan menyediakan wadah kreasi siswa. Siswa diarahkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif dan kreatif seperti olahraga, menulis, bermusik, menari, mencintai lingkungan, ekonomi dan sebagainya dengan tetap berada di bawah pengawasan dan bimbingan guru.

            Sedang di tingkat pemerintah, program pembangunan sudah harus ditujukan dan berorientasi pada kepentingan yang terbaik bagi anak dan masa depan anak. Menyediakan sarana yang aman, nyaman dan mudah diakses bagi anak dan remaja untuk berkreatifitas menunjukkan bakat dan kemampuannya.

            Menyediakan ruang terbuka hijau yang aman untuk tempat bermain dan belajar anak. Sedang dari sisi penegakan hukum, pemerintah sudah harus melakukan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum secara khusus dan berorientasi kepada kepentingan terbaik bagi anak.

            Bila kesemua elemen di atas menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing, niscaya anak-anak Indonesia akan tumbuh menjadi anak yang santun, berkualitas dan berakhlak mulia. Tumbuh menjadi pribadi yang menghormati orang tua, guru, masyarakat, pemerintah dan teman-temannya, semoga. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar