Rabu, 02 Januari 2013

Mencontek dan Bahayanya

Kata mencontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar. Setiap orang pasti ingin mendapat nilai yang baik dalam ujian dan sudah tentu berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Masalah mencontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Banyak orang beranggapan mencontek sebagai masalah yang biasa saja, namun ada juga yang memandang serius masalah ini.

Fenomena ini sering terjadi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah atau madrasah, tetapi jarang kita dengar masalah mencontek dibahas dalam tingkatan atas, cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan sekolah atau madrasah itu sendiri.

Mencontek sudah mendarah daging pada diri siswa. Trik-trik cerdik yang diciptakan para anak-anak bangsa telah dilakukan turun-temurun, bahkan dijadikan sebagai tradisi. Ide-ide baru demi “usaha” mereka pun semakin banyak bermunculan. Tentu saja hal ini membuat para guru atau fasilitator resah.

Sudah dimaklumi bahwa orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktik mencontek.

Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai menurut Megawangi (2005), biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PKn, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di “kognitifkan” (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.

Menghafal buku teks (yang memang diwajibkan untuk bisa menjawab soal ujian) adalah skill yang paling tidak penting bagi manusia. Mereka hanya dididik menjadi robot: tidak ada inisiatif dan pasif. Manusia ini biasanya tidak dapat berpikir kritis dan tidak dapat menganalisis permasalahan, apalagi mencari solusinya, sehingga mudah dipengaruhi dan diprovokasi untuk melakukan hal-hal yang negatif. (Megawangi, 2005).

Akibat mencontek, kreativitas siswa menjadi terhambat. Padahal kreativitas sangat diperlukan dalam dunia pendidikan. Kreativitas para siswa yang tinggi, bisa membangun jati diri mereka sendiri bahkan mengharumkan nama bangsa dan negara. Tanpa kreativitas, membangun negara yang cerdas adalah mustahil.
Kemandirian siswa juga diperlukan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Jika para siswa masih belum menyadari kebiasaannya untuk tidak mencontek, mungkin akan sulit untuk mengubahnya. Sehingga hanya bergantung pada orang lain ataupun alat-alat yang berperan dalam aktivitas mencontek.

Tentu saja kecerdasan otak siswa tidak berkembang. Otak perlu diasah agar dapat bekerja dengan baik. Mencontek tidak ada manfaat apa-apa untuk kecerdasan otak. Tanpa mencontek, kita bisa melatih dan mengasah otak dengan hal-hal yang berguna.

Menurut Poedjinoegroho (2006), dampak yang timbul dari praktik mencontek yang secara terus-menerus dilakukan akan mengakibatkan ketidakjujuran. Jika tidak dihilangkan, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor.

Menurut Vegawati, Oki dan Noviani (2004), pada saat dorongan tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek. Pada proses retensi, faktor-faktor yang memberikan atensi terhadap stimulus perilaku mencontek itu menjadi sebuah informasi baru atau digunakan untuk mengingat kembali pengetahuan maupun pengalaman mengenai perilaku mencontek, baik secara maya (imaginary) maupun nyata (visual).

Jika masalah mencontek ini masih dianggap sepele oleh semua orang, tidak ada respons dan tanggapan dari guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidikan, para pakar pendidikan, dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, penulis pesimis dunia pendidikan tidak akan maju dan mungkin orang-orang yang tidak jujur akan bekerja di semua sektor kehidupan.

Karena adanya kesempatan, aktivitas mencontek menjadi leluasa untuk dilakukan. Pengawasan guru yang renggang menjadi lebih mudah dalam melakukan “usaha” mereka. Siswa memiliki motto sendiri, “posisi menentukan prestasi”. Tempat duduk yang kurang diawasi adalah kesempatan yang diinginkan oleh siswa. Sehingga mencontek pun dengan mudah dilakukan tanpa adanya risiko.

Mencontek dapat dihilangkan dengan kesadaran siswa sendiri. Dengan memandang ke depan dan memikirkan risiko apa yang akan mereka dapat. Nasihat-nasihat dari guru atau fasilitator perlu diberikan kepada murid-muridnya. Kakak-kakak kelas yang menjadi panutan pun harus menyadari risiko dari mencontek.

Berkreasi akan menyenangkan apabila dilakukan secara mandiri dan atas pemikiran kita sendiri. Dengan tidak mencontek, kita bisa mengukur seberapa kemampuan yang dimiliki, sehingga bisa ditingkatkan melalui proses yang mungkin tidak mudah. Usaha melalui proses yang kita lakukan pasti akan membuahkan hasil yang membanggakan dari pada usaha instan yang dilakukan tanpa adanya proses dari diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar